Jumat, 11 Juli 2008

Al-Murji’ah;

Cerminan Sikap Pendahulu Yang Terselewengkan


I. Muqaddimah

Menilik perjalanan sejarah akan kita dapati bahwa tak satupun agama yang lahir dimuka bumi ini tanpa mengalami perpecahan yang diawali oleh perbedaan pendapat para pengikutnya setelah kewafatan tokoh sentral suatu agama (nabi). Perbedaan adalah bakat alami yang ada pada manusia, oleh karena itu sangat mustahil rasanya antara satu orang dengan yang lainnya selalu serasi. Kenyataan diatas juga bisa kita lihat dari makhluq-makhluq Allah! tidakkah kita diciptakan berbeda-beda? dari suku bangsa sampai jenis kulit, dari bahasa sampai watak atau tabiat masing-masing suku. Bahkan watak serta pola pikir setiap manusia belum tentu serasi meskipun mereka ia hidup dalam kondisi social yang sama.

Kenyataan-kenyataan diatas sangat pantas dijadikan alasan adanya perbedaan yang nantinya menimbulkan perpecahan yang membagi agama kepada beberapa kelompok. Ditambah lagi kepentingan-kepentingan individu maupun golongan yang ingin selalu benar dan berada diatas. Manusia tidak hanya diberi akal sebagai pembeda yang benar dan yang salah, tapi juga diberi hawa nafsu yang selalu menggoda akal untuk mencari jalan guna memenuhi kebutuhan nafsu itu.

Dari faktor eksternal kita mengenal sosok iblis moyang para syetan yang bersumpah dihadapan Allah akan selalu menyesatkan manusia dengan berbagi cara,musuh yang sangat hebat yang bakal dihadapi manusia yang lahir dimuka bumi ini. Pertikaian kedengkian dan permusuhan tidak lain adalah ulah syetan sebagaimana dinashkan dalam Al-qur’an;

‘Sesungguhnya syetan itu menghendaki permusuhan dan pertikaian diantara kamu’( Q.S.Al-Maidah:19)

Tentu saja ulah syethan ini tidak mengenal pilih. Maka tak heran oarng-orang yang beriman ikut terkena racun yang dibubuhkan musuh utama manusia itu. Perpecahan terjadi dalam tubuh umat islam semenjak kewafatan nabi Muhammad.S.A.W. Qadhiyah imamiyah(masalah kepemimipinan) adalah factor utama perselisihan itu, dimana para sahabat berbeda pandangan tentang sosok yang paling berhak menjadi imam atau khalifah pengganti rasul,saw. Sebagian berpendapat bahwa bangsa quraisy paling berhak, sahabat anshor melihat mereka juga berhak menggantikan rasul,saw menjadi khalifah.

Lambat laun seiring perkembangan zaman dan pergantian generasi, perbedaan yang sebatas qadhiyah imamiyah(masalah kepemimpinan) itu berkembang menjadi perselisihan yang meluas memasuki ranah aqidah yang sangat vital bagi umat islam.

** Santri Fakultas Ushuluddin, Jurusan Hadits wa Ulumuhu, Universitas Al-Azhar, Kairo

Tak jarang satu golongan mengkafirkan golongan lainnya kerena secuil perbedaan, masing-masing beranggapan kebenaran hanya dipihak mereka. Sebagai orang islam yang beriman sudah seharusnya kita menjaga sikap, menata omongan dan membersihkan hati dari kedengkian agar setiap gerak-gerik yang keluar dari pribadi kita tidak menjadi duri bagi manusia lain umumnya dan sesama muslim khususnya, apalagi sampai menyesatkan orang lain, padahal belum kita teliti secara mendalam, hanya ikut-ikutan. Sabda nabi

“orang islam adalah orang yang tangan dan lisannya tidak menjadi petaka bagi saudaranya sesama islam”.(H.R.Imam Muslim)

Perlu digaris bawahi, awalnya perpecahan umat islam menjadi berbagai golongan bukanlah semata-mata karena perbedaan dalam urusan agama(fiqh,theologyataupun akhlaq),tapi perpecahan itu sebenarnya berawal dari masalah siyasi(politik).

Munculnya kelompok seperti syi’ah,khowarij dan murji’ah pada awalnya adalah buah dari perbedaan pendapat mengenai kepmimpinan umat islam kala itu,namun seiring perkembangan zaman,masalah yang sederhana itu kini menjadi problem yang sangat rumit,meluas mencakup masalah aqikdah dan fiqh.berangkat dari sinilah penulis memberi judul diatas untuk makalah ini.

Imam Abdul Halim Mahmud mewanti-wanti akan hal itu dalam bukunya “At-Tafkit Al-Falsfy Fil islam”, beliau bungkus kata-kata dengan indah untuk menolak pendapat extrem dan menekankan sikap hati-hati dalam berbicara tentang aliran-aliran islam karena hal itu menyangkut penjustifikasian terhadap suatu kelompok. Tak pelak Imam Syahrustani pun secara tidak langsung terkena senggolannya[1] (silahkan baca:At-tafkir al-falsafy fil islam milik Abdul Halim Mahmud). Pengkafiran terhadap orang islam sangat tidak dibenarkan dalam islam itu sendiri kalau hanya karena secuil perbedaan. Agama ini adalah agama yang penuh tasamuh(toleransi) baik bagi umat islam sendiri maupun ummat lainnya Mereka yang dianggap kafir adalah orang yang jelas-jelas menyekutukan Allah, tidak mengakuinya serta ingkar terhadap rasul dan risalah yang ia bawa.

Bukankah syrik juga terbagi dua, ada yang kecil dan ada yang besar.Apakah gara-gara riya’ lantaran itu jadi kafir? tentu tidak!

Disamping itu harus kita akui, memang ada dari golongan-golongan itu yang benar-benar menyimpang dari aqidah islam, seperti Ahmadiyyah Mirza Ghulam Ahmad diQadyan India yang mengaku sebagai nabi, namun belum tentu Ahmadiyyah yang lainnya seperti itu! sebelum benar-benar terbukti menyimpang jangan cepat mengkafirkan.

II. Defenisi Dan Latar Belakang Histories Kemunculan

Defenisi

Kata murji’ah adalah isim fa’il dari mashdar irja’ menurut ulama Bashroh atau berasal dari fi’il madhi arja’a menurut ulama kuffah. Imam syahrustani dalam “Al-Milal Wa An-Nihal” mengatakan bahwa irja’ secara bahasa memiliki dua arti:

1. At-Ta’khir(menangguhkan/mengakhirkan). Sebagaimana firman Allah Ta’alaa:

قالوا ارجه واخاه وارسل في المدائن حاشرين

Para pemuka istana Firaun menjawab”Beri tangguhlah Ia dan saudaranya serta kirimlah ke kota-kota beberapa orang yang mengumpulkan ahli sihir”.(Q.S.Al-A’raf:111)

2. I’tho’u Ar-Raja’(memberi harapan).

Kita bisa mendefinisikan murji'ah dengan memakai ma'na pertama yaitu menangguhkan sebab mereka menangguhkan(menomor duakan) perbuatan dan lebih mementingkan niat di hati. Perbuatan bagi mereka adalah hal yang kesekian,yang penting hati tetap beriman.

Adapun jika dipahami dengan arti yang kedua (memberi harapan), juga tidak keliru,sebab mereka sering mengatakan “Ma’shiat tidak membahayakan asal iman masih melekat sebagaimana `tho’at tidak memberi arti apa-apa kalau dalam keadaan kafir”. ungkapan ini mengisyaratkan mereka berpendapat bahwa harapan atau peluang “murtakib kaba’ir”(pendosa besar) masuk surga sama seperti orang yang tidak melakukan dosa besar. Karena pendapat itu maka mereka disebut murji’ah(pemberi harapan),sesuai dengan arti kedua secara bahasa.

Pendapat lain mengatakan bahwa irja’ adalah menangguhkan hukum terhadap pendosa besar sampai hari kiamat, tidak boleh menetukan apakah pendosa besar menjadi penghuni surga atau penghuni neraka sampai datang ketentuan /hukum dari Allah sendiri di hari kiamat[2].

Kesimpulannya bahwa murji'ah adalah sebuah golongan yang menagguhkan(menomorduakan) amal,lebih mementingkan hati. Mereka juga adalah golongan yang berpendapat bahwa harapan pendosa besar untuk masuk surga sama seperti harapannya oarnga yang tidak melakukan dosa besar. Kira-kira inilah definisi meurji'ah dari segi istilah berdasar pada ma'na dari kata irja' dan realitas pendapat mereka.

Historis Awal Kemunculan

Sebelum berbicara panjang lebar tentang historis yang melatar belakangi munculnya kelompok ini, penulis ingin mengatakan bahwa sangat banyak buku yang menyebutkan kronologi awal kemunculan murji’ah, begitu pula buku-buku yang tidak menerangkan kronologi itu namun pembahasannya lebih menjurus pada pembagian dan pandangan-pandangan firqoh(kelompok) ini dalam masalah aqidah maupun amaliah.

Ada sepuluh kitab yang menjadi rujukan penulis tentang murji’ah mulai dari yang paling turots(klassik) seperti “Maqaalaat Al-Islamiyyin Wa Ikhtilaaf Al-Mushallin” karangan syekh ahlus sunnah wal jama’ah Imam Abu Hasan Ali bin Ismail Asy-Arie sampai yang paling kontemporer karangan seorang professor di Al-Azhar yang berjudul “Ushul Al-Firaq Al-Islamiyyah”. Tak lupa pula kitab “At-Tafkir Al-Falsafy fil Islam” karya syekhul islam syeikhul Azhar Imam Abdul Halim Mahmud yang sangat mengesankan penulis, disamping sentilannya yang sangat mengena,beliau juga sangat menekankan kehati-hatian dalam menghukumi setiap firqoh.

Berikutnya buku Imam Abu Zahro’ yang berjudul “Tarikh Al-Madzaahib Al-Islamiyyah” yang dibaca paling akhir dari sepuluh daftar pustaka tersebut Dll. Buku yang paling awwal dibaca penulis adalah “Al-Milal Wa An-Nihal” milik Imam Syahrustani yang tidak menerangkan kronologi histories kemunculan murji’ah, beliau lebih asyik berbicara tentang kelompok-kelompok yang ada pada murji’ah berikut pandangan masing-masing kelompok dalam masalah aqidah dan murtakib khabaa’ir. Dari sepuluh buku yang kami baca, yang paling lengkap menceritakan sejarah murji’ah menurut penulis adalah karya Syekh Abu Zahro’ judulnya“Tariikh Al-Madzaahib Al-Islamiyyah”.

Dalam karyanya itu Imam Abu Zahro’ menyebutkan bahwa kelompok ini berkembang di tengah-tengah kontraversi mengenai hukum bagi pendosa besar , berimankah?atau kafir?. Khowarij berpendapat kafir, mu’tazilah berpandangan tidak beriman tapi muslim, Imam Hasan Bashri(salah seorang tabi’in kenamaan) bersama sekelompok tabi’in lain mengatakan munafiq karena perbuatan adalah tanda adanya iman dihati, bukan sekedar lisan, sedangkan jumhur ulama menjustifikasikan pedosa besar adalah mu’min yang berdosa(dia masih dihitung beriman,tidak munafik tapi berdosa atau bahasa lainnya fasiq), masalah mereka ditangan Allah. Jika Ia menghendaki maka diazab sepadan dengan dosa yang dilakukan dan jika Ia berkehendak lain maka akan diampuni segala dosa itu.Yang jelas akan dimasukkan kesyurganya walaupun dikasih pemanasan dineraka untuk membakar lemak-lemak dosa yang nempel pada mereka[3].

Ditengah kondisi seperti itu, suara lantang muncul dari satu golongan,mereka mengatakan bahwa sesungguhnya”Dosa tidak membahayakan manusia asal iman masih melekat sebagaiamana taat tidak memberi arti apa-apa kalau masih dalam keadaan kafir”. Diantara orang yang dihubungkan pada mereka ada yang mengatakan bahwa masalah pendosa besar ditangguhkan pada Allah di hari qiyamat[4].

Mereka juga seirama dengan jumhur ulama sunny pada sebagian besar pendapat mereka.bahkan ketika diteliti ditemukan bahwa pendapat mereka adalah pendapat jumhur ulama[5].

Selanjutnya Imam Abu zahro’menyebutkan bahwa awal dari benih kemunculan golongan ini sudah ada pada zaman sahabat tepatnya pada akhir-akhir masa kekhalifahan Utsman bin Affan .r.a[6]. Desas-desus seputar pemerintahan Utsman dan isu-isu provokatif tentang pegawai Utsman,ra telah menjadi rahasia umum saat itu. Tak pelak lagi fitnah pun bermunculan mulai dari pengelolaan system pemerintahan sampai isu nepotisme Ustman berkembang dimasyarakat kala itu. Kesempatan emas ini tidak disia-siakan begitu saja berlalu oleh musuh-musuh islam, mereka dipimpin oleh Abdullah bin Saba ’ Al-Yahudy. Ia mengutus sebagian pengikutnya kedaerah-daerah muslim seperti Kuffah, Bashrah dan Mesir untuk mencari dukungan melengserkan pemerintahan Utsman. Sebagian penduduk daerah-daerah tersebut ada yang terpengaruh olehnya[7].

Karena gawatnya situasi,sahabat Utsman berinisiatif mengundang para pembantunya beserta gubernur masing-masing wilayah berkumpul pada musim haji untuk dengar pendapat mencari solusi permasalahan yang dihadapi. Kesempatan emas sepinya Madinah menjelang musim haji digunakan sebaik-baiknya oleh para penyeru fitnah untuk bertemu langsung dengan kholifah, mereka menuju rumah kholifah Utsman menumpahkan kemarahan yang berakhir dengan syahidnya Utsman r.a[8].

Ditengah situasi yang kacau balau akibat kematian Utsman ini, terdapat sekelompok sahabat yang memilih diam daripada ikut terlibat dalam fitnah yang meresahkan umat islam pada saat itu[9]. Mereka berpegang pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah bahwasanya Nabi Muhammad S.A.W bersabda:

Akan dekat finah terjadi, maka pada waktu itu orang yang duduk lebih baik dari yang berjalan,orang yang berjalan lebih baik dari orang yang bekerja. Ingatlah apabila fitnah itu telah terjadi maka yang punya onta kembalilah keontanya,yang punya kambing kembalilah mengembala kambingnya,yang punya tanah kembalilah ketanahnya. Seorang sahabat bertanya”ya rasulullah kalau ia tak punya unta tak punya kambing dan tak punya tanah bagaiman?. rasullah menjawab”ambillah pedangnya, tajamkan matanya dengan batu kemudian carilah keselamatan kalau mampu(H.R.Bukhary)

Mereka sama sekali tidak ambil bagian dalam pertikaian yang terjadi pada masa Utsman ini yang sampai merenggut nyawanya dan terus berlangsung hingga masa kepemimpinan Imam Aly r.a. Para sahabat tersebut tidak mau berpendapat tentang peperangan yang terjadi antara sayyidina Aly dan sahabat Muawiyah, mana yang haq dan yang bathi?l. Diantara mereka adalah para pembesar sahabat yaitu:Sa’ad bin Abi Waqosh, Abdullah bin Umar, Amran bin hashin, Zaid bin Tsabit dan Abi Bakrah sendiri yang meriwayatkan hadits diatas radiallahu anhum ajma’in[10]. Mereka menangguhkan dan menyerahkan hukum bagi dua pihak yang saling bertikai kepada Allah. Karena sikap penagguhan itu mereka di sebut murji’ah.

Sebagaimana komentar Imam Nawawi, pada saat itu problematika yang dihadapi para sahabat sangatlah samar sampai-sampai mereka tahayyur(bimbang)akan kebenaran berada dipihak siapa. Oleh karena itu mereka I’tizal(menyingkir) dari dua golongan yang saling bertikai, tidak ikut-ikutan saling mencela dan membunuh.

Karena sikap mereka yang menangguhkan permasalahan-permasalahan itu, Ibnu Asakir menjuluki mereka dengan As-Syakkak(orang yang ragu-ragu)dalam menghukumi suatu kebenaran dan kesalahan. Imam Abdul Halim mahmud dalam bukunya “At-Tafkir Al-Falsafy” memuji para sahabat tersebut, beliau mengatakan itulah mauqif(sikap)orang yang bijaksana[11], karena problem yang dihadapi umat islam kala itu sangat kompleks, samar, sulit membedakan kelompok mana benar dan kelompok mana yang salah. Setiap golongan mengemukakan alasan untuk membenarkan pendapat mereka dan menyalahkan yang lain.

Kemunculan murji’ah menurut Imam Abdul Halim Mahmud adalah suatu hal yang thobi’i(alami) karena kondisi saat itu menghendaki demikian. Penangguhan mereka pada Allah terhadap masalah-masalah yang terjadi pada saat itu yang mana mereka tidak menghukumi kelompok mana yang benar dan salah menurut penilaian Abdul Halim Mahmud adalah suatu langkah yang fositif yang ditempuh oleh orang yang bijaksana[12]. Sabda nabi Muhammad.S.A.W:

Diam itu adalah suatu kebijaksanaan namun sedidikit sekali orang yang melakukannya”(H.R.Imam Baihaqy.

Priode Setelah Sahabat

Tatkala temperature ikhtilaf(perbedaan) pada masalah imamiyyah(kepemimpinan)sudah demikian panasnya ditambah lagi dengan kontraversi seputar qadhiyah(permasalahan)pendosa besar, terdapat suatu golongan yang menempuh jalur irja’(penangguhan)yang juga pernah ditempuh para sahabat sebelumnya. Kelompok ini berpendapat bahwa urusan pendosa besar sepenuhnya diserahkan pada Allah , tak seorangpun yang bisa menghukumi masalah ini didunia. Disamping itu juga, mereka tidak mau ambil bagian dalam pertikaian politik yang terjadi saat itu. Panasnya suhu perpolitikan kala itu dikarenakan pengkafiran khowarij terhadap kelompok yang berselisih dengan mereka[13].Kondisi seperti ini terjadi pada masa bani umayyah, perbedaan ini tak lagi terjadi antara sabat, namun para pengukut setelahnya.

Murji’ah berpandangan bahwa orang-orang yang berbeda itu adalah mereka yang mengucapkan kalimah syhadah, mereka tidak bisa dihukumi kafir, tidak juga dihukumi musyrik, mereka adalah muslim yang mana segala urusannya diserahkan sepenuhnya pada Allah. Dialah yang paling mengetahui rahasia-rahasia manusia dan akan menghisabnya berdasarkan amal perbuatan yang mereka lakukan.

Kalau kita cermati pandangan-pandangan yang terlontar dari murji’ah diatas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa pendapat mereka adalah pendapat jumhur sebagaimana dikatakan Abu Zahro’ sebelumnya, dan sikap mereka adalah sikap orang yang bijaksana seperti pujian Abdul Halim Mahmud buat mereka. Namun lanjut Abu Zahro’, tadi hanyalah sikap para pendahulu dari kalangan sahabat dan pengikut mereka adapun generasi seterusnya sudah tidak mencerminkan sikap para pendahulu. Mereka tidak hanya mengatakan bahwa pendosa besar urusannya ditangguhkan pada Allah , namun mereka melampaui batas denagn mengatakan”

“Ma’shiat tidak membahayakan asal ada iman dihati sebagaimana taat tidak berarti apa-apa kalau dalam kekafiran”.

ungkapan ini difahami oleh golongan diluar murji’ah dengan asumsi bahwa orang yang berbuat dosa tidak diazab sama sekali kalau iman tertancap dihati, seperti pemahaman Abul Baqa’ dalam “Al-Kulliyyaat”[14], As-Syahrustani dalam “Al-milal wa An-nihal” serta Imam Abu Zahro’ dalam “Tarikh Al-madzahib Al-islamiyah”.

Bahkan menurut Syahrustani generasi ini tidak sebatas mengatakan “ma’siat tidak membahayakan asal iman masih melekat”. Namun menjustifikasikan bahwa iman adalah I’tiqod dihati saja walaupun mengatakan kafir dengan lisannya. Bahkan seandainya ia tampak menyembah berhala maka tetap dihitung mu’min asal iman tertancap disanubari.

Tentu saja pendapat semacam ini tidak dilegalkan dalam islam, karena jelas-jelas menyimpang dari ajaran tauhid. Ini kalau menurut pemahaman di atas, seandainya jargin mereka itu dipahami bahwa yang dimaksud dengan “ma’siat tidak membahayakan asal iman tertancap di hati” adalah orang yang melakukan ma’siat namun mereka beriman itu tidak kekal di neraka, mereka pada suatu saat akan masuk surga setelah mereka diazab, maka ini sesuai dengan pendapat ahlussunnah.Yang dimaksud tidak membahayakan adalah tidak kekal di neraka bukan tidak diazab sama sekali. Maqolah(jargon) itu sendiri sangat sulit dipahami menurut Imam Abdul Halim Mahmud. Tafsir pertama diatas adalah menurut Abul Baqo’ dalam “Al-kulliyyaat”[15], namun juga bisa ditafsiri dengan yang kedua.

Dari penjelasan histories kemunculan murji’ah mulai dari priode sahabat sampai generasi berikutnya dapat disimpulkan bahwa murji’ah tidak lain adalah sebutan atau julukan terhadap dua golongan yang mana golongan pertama muncul pada masa sahabat dan setelahnya akibat pertikaian masalah imamiyah pada masa Imam Aly.ra dan pertikaian yang terjadi pada masa umayyah yang mana setiap golongan saling mengkafirkan yang lain, kondisi seperti ini membuat sebagian sahabat dan pengikutnya memilih sikap diam daripada ikut dalam pertikaian. Kelompok ini hanya berkutat pada masalah imamiyyah dan pendosa besar.

Adapun golongan kedua adalah sekelompok orang yang hidup setelah masa sahabat, yang berpandangan bahwa ampunan Allah tidak bertepi, Allah mengampuni segala dosa selain kafir, maka ma’siat tidak membahayakan asal iman masih melekat di hati sesebagaimana ketaatan tidak berarti apa-apa kalau dalam kekafiran. Mereka ini tidak hanya membicarakan dua hal diatas, namun sudah berbeda pandangan pada masalah aqidah tauhid

Golongan kedua inilah yang banyak dicela dan dibicarakan para ulama di kitab-kitab mereka, dan golongan ini juga yang penulis angkat dimakalah ini terlepas benar atau tidaknya keterangan atas mereka, karena secara pasti kita tidak meneliti sumber-sumber asli dari mereka, kita hanya sebatas menukil dari kitab-kitab para ulama terdahulu yang notaben bukan murji’ah,tentunya sikap husnuzhon pada para ulama kita kedepankan,mereka adalah penerus risalah nabi.namun harus kita ingat bahwa jangan sampai kita terlalu jauh membenci murji'ah karena walau bagaimanapun kita tidak melihat dan mendengar secara langsung pendapat mereka.

III. Pembagian Murji’ah

Secara garis besar sebagian ulama sebagaimana dikutip Abu Zahro’membagi murji’ah kepada dua golongan[16]:

1. Murji’ah Sunnah.

Mereka adalah orang-orang yang perpendapat bahwa pendosa besar diazab sebesar dosa yang mereka lakukan, dan bisa jadi Allah mengampuni dosa-dosanya secara total, jadi mereka tidak diazab sama sekali.

Hal ini sesuai dengan pendapat jumhur. Barangkali perlu penulis kuatkan bahwa inilah golongan yang pertama yang dipaparkan dibagian histories kemunculan murji’ah. Mereka adalah para sahabat dan orang yang hidup setelah mereka yang masih berpegang pada prinsip para pendahulu mereka, masuk kekelompok ini sebagian para fuqaha dan muhaddits.

2. Murjia’ah Bid’ah.

Golongan ini adalah kelompok yang bayak menyimpang dari pendahulu mereka, mereka tak lagi berbeda dalam qadiyah imamiyyah, namun sudah masuk ke lingkaran aqidah yang merupakan inti paling vital bagi umat ini.

Pembagian Murji’ah Bid’ah

Karena murji'ah sunnah tidak ada pembagiannya juga memngingat yang banyak dibicarakan ulama adalah murji'ah bid'ah maka disni kami hanya memfokuskan pada murji'ah bid'ah.

Imam Abdul Qahir Al-Baghdady dalam kitabnya “Al-Farqu baina Al-Firaq” membagi murji’ah kepada tiga golongan[17]:

1. Murji’ah Qadariyyah Mu’tazilah.

Mereka adalah kelompok yang mementingkan iman dihati dan menyepelekan amal perbuatan sekaligus semazdhab dengan qadariyyah dalam masalah Al-Qadr.Diantara mereka adalah Ghailan, Abu Syimrin dan Muhammad bin Syabib.

2. Murji’ah Jabariyyah.

Kelompok ini berpendapat seperti umumnya murji’ah namun berbeda dengan murji’ah qadariyyah karena mereka sependapat dengan jabariyyah dalam masalah af’alul ibad(perbuatan manusia).

3. Murji’ah Kholishoh(murni).

Disebut kholishoh karena mereka tidak sepaham dengan qadariyyah dan tidak pula dengan jabariyyah. Kelompok ini terbagi atas lima golongan yaitu:Yunusiyyah, Ghassaniyyah, Tsaubaniyyah, Tumaniyyah dan Marisiyyah.

Perlu diketahui bahwa pembagian Imam Abdul Qahir Al-Baghdady dalam kitabnya hanya menyebutkan murji’ah bid’ah tanpa menyebutkan murji’ah sunnah sebabagaimana dinuqilkan oleh Abu Zahro’ dari sebagian ulama. Dan Pembagian-pembagian diatas adalah sebagian kecil dari kelompok yang ada didalam murji’ah secara keseluruhan. Perbedaan mereka tak sebatas yang telah dipaparkan, pembagian diatas tidak lain adalah pengelompokan yang dilakukan oleh kebanyakan ulama tarikh(sejarah), mereka mengangap kelompok kelompok itu sudah mewakili yang lain.

Imam Abu Hasan Asy-Arie dalam “Maqoolaat Al-Islamiyyin” menyebutkan bahwa murji’ah dalam masalah iman berbeda menjadi duabelas pendapat, dalam masalah kafir mereka berpecah menjadi tujuh golongan, dalam hal keyakinan tauhid pada Allah tanpa nazhor/tafakkur apakah sudah bisa dianggap iman atau tidak berbeda menjadi dua kelompok, begitupula mengenai kejahatan orang-orang yang beriman apakah mereka dikekalkan dineraka, mereka terbagi menjadi lima kelompok[18]. Dan masih banyak perbedaan-perbedaan mereka dalam masalah lainnya.

Makalah ini penulis anggap sebagai pengantar, tidak menjelaskan secara detail kelompok-kelompok yang ada pada murji’ah.Untuk lebih sempurna silakan merujuk pada kitab-kitab yang banyak mengomentari firqoh-firqoh(klompok) itu sendiri. Disini hanya menjelaskan segabagaimana dinuqilkan dari sebagian ulama yang hanya menyebutkan sebatas pembagian diatas.

Sebagaimana Abdul Qadir Al-baghdady, Imam Syahrustani juga berpendapat hampir sama dengannya ,namun Syahrustani menambahkan satu golongan yaitu murji’ah khowarij. Sedangkan murji’ah kholishoh Syahrustani membaginya menjadi enam kelompok[19].

1. Yunusiyyah.

Mereka adalah para pengikut yunus bin Aun An-Numairy.Golongan ini menyangka bahwasanya iman adalah ma’rifat pada Allah, tunduk dihadapannya, tidak menyombongkan diri padanya serta cinta pada Allah dengan hati yang tulus. Barang siapa memenuhi kriteria diatas maka ia dianggap beriman.menurut mereka kesalahan iblis yang menyebabkan ia kafir adalah karena ia menyombongkan diri dihadapan Allah,tidak mau sujud pada Adam,as menuruti perintah Allah.

2. Ubaidiyyah.

Kelompok ini adalah pengikut Ubaid Al-mukta’ib, dinukilkan darinya bahwa segala dosa selain syrik pasti diampuni, seorang hamba yang mati dalam keadaan bertauhid maka tidak membahayakan baginya dosa yang ia perbuat selagi tidak menyekutukan Allah.

3. Ghassaniyyah.

Mereka dikomandoi oleh Ghassan Al-kuffy, golongan ini berpandangan bahwa iman adalah ma’rifat pada Allah, rasulnya dan iqrar terhadap apa yang diturunkan Allah pada para rasul tersebut secara gelobal. Iman tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Mereka juga mengatakan bahwa orang yang mengatakan saya tahu Allah telah mewajibkan haji kebaitullah namun tidak tahu baitullah itu terletak dimana, mereka dianggap mu’min. Maksud mereka dengan contoh diatas adalah keyakinan yang berada dibalik iman bukan termasuk kriteria iman.

4.Tsaubaniyyah.Para pengikut Abu Tsauban Al-Murji’i.

Mereka menyangka bahwa iman hanyalah ma’rifat dan iqror pada Allah, rasulnya dan segala sesuatu yang menurut akal tidak boleh dilakukan, sedangkan mengetahui serta iqror(menetapkan) sesuatu yang secara akal boleh dilakukan bukanlah iman menurut mereka. Diantara pengikutnya yaitu Abu Marwan ghailan bin marwan Al-Dimasyqi, Abu Syimrin, Musa bin Imran dan Fadhl Ar-Raqosy.

5. Tumaniyyah. Kelompok ini dipimpin Abu Mu’adz Al-Tumany.

Mereka berpendapat bahwa iman adalah kebalikan kafir. Ia adalah kriteria-kriteria yang apabila tidak dimiliki oleh seseorang maka secara otomatis akan dihukumi kafir, baik tidak memiliki semua kriteria itu maupun salah satunya. Kriteria yang mereka maksud adalah ma’rifat, tashdiq, mahabbah, ikhlash dan iqror terhadap apa yang dibawa oleh rasul s.a.w. Orang yang meninggalkan sholat karena menganggap meninggalkannya boleh maka dihukumi kafir, namun apabila meninggalkannya dengat niat mengqodo’ maka tetap beriman.

6. Sholihiyyah. Para pengikut Shalih bin Umar As-Sholihy, Muhammad bin Syabib, Abu Syimrin dan Ghailan.

Mereka semua menggabungkan antara qodariyah dan irja’iyah.As-Sholihiyyah berpendapat iman adalah ma’rifat pada Allah secara muthlaq(ma’rifat al-uula) yaitu tahu bahwasanya alam ini ada penciptanya sedangkan kafir adalah kebalikannya. Adapun Ghailan bin Marwan memandang bahwa iman adalah ma’rifat at-tsaani(ma’rifat selanjutnya) pada Allah, rasa cinta, tunduk dihadapannya dan iqror dengan apa yang dibawa oleh rasulnya.

Yang dimaksud ma’rifat at-tsani yaitu ma’rifat setelah mengetahui alam ini ada penciptanya, ringkasnya adalah ma’rifat bahwa dzat yang menciptakan alam ini adalah Allah. Sedangkan ma’rifat pertama yang sebatas meyakini bahwa alam ini ada penciptanya adalah fitrah manusia maka dari itu belum bisa dianggap iman kalau hanya memenuhi kriteria ini karena menurut mereka setiap insan pasti yakin akan adanya sang pencipta.

IV. Kesimpulan Dan khatimah

Uraian diatas tak lebih hanya sebatas muqaddimah untuk mengkaji lebih jauh tentang aliran ini, karena masih banyak bagian-bagian yang belum ditulis mengingat terbatasnya maroji’(sumber), juga menimbang diskusi kita bukanlan kajian yang melalap habis dari akar sampai keujung dan cabang-cabang setiap firqoh yang kita kaji, demikian pula mengingat study yang kita tempuh juga butuh konsentrasi penuh, sangat tidak mungkin rasanya hal itu dilakukan kecuali ini bagian dari risalah magister.

Sebagai contoh Imam Ibnu Hazm Az-Zhohiry Al-Andalusy juga membagi murji’ah dalam dua kelompok[20], namun beliau juga tidak menyebutkan murji’ah sunnah sebagaimana dinukil oleh Imam Abu Zahro’ dari sebagian ulama

Hal yang paling penting menurut penulis adalah memilih sikap hati-hati dalam membahas setiap aliran, jangan sampai terjebak fanatisme mazdhab yang berujung pada pelecehan bahkan pengkafiran terhadap kelompok lainnya. Hal ini juga diingatkan Imam Abdul Halim Mahmud dalam kitabnya “at-tafkir al-falsafy fil islam”. Pembahasan yang dipaparkan diatas tidak lain hanya merujuk pada kitab-kitab pendahulu maupun karya pemikir kontemporer. Harus diakui mereka tidak sepenuhnya benar dan belum tentu juga sepenunya tahu secara detail hakikat murji’ah itu sendiri.Yang ditulis adalah apa yang nampak oleh mereka secara dzohir dan nukilan-nukilan dari pendahulu mereka pula.

Ghulaah(radikalisme)tidak lain akibat fanatisme madzhab, hanya dengan secuil perbedaan mereka menjustifikasikan kafir kelompok lainnya, padahal tidak tahu secara detail kelompok yang mereka kafirkan. Fanatisme memang watak alami yang ada pada manusia, ia adalah kecendrungan manusia dari kecil, namun fanatisme bisa diperangi dengan berfikir matang, berorientasi pada mashlahat(kebaikan)ummat, tidak hanya mementingkan golongan tertentu.

Penulis hanya membaca kitab karangan diluar murji’ah, tak satupun maroji’(sumber) asli dari mereka kita dapati, terlepas karangan mereka hilang atau mereka mandul alias tak punya buah karya. Keotentikan kitab-kitab diatas tidak 100% kita yakini,banyak faktor yang menyebabkan hal itu, mulai dari keterbatasan sebagai manusia untuk menangkap secara penuh informasi yang asli dari murji’ah itu sendiri, hingga faktor eksternal seperti kondisi sosial saat penulisan, dan sikon politik yang mana semua itu berada diluar teks(konteks) yang sulit dianalisa. Kalau kitab-kitab tersebut dikarang pada abad ke lima hijriyyah misalnya, sudah berapa ratus tahun umurnya hingga sekarang. sebagai concoh imam Abdul Qohir Al-Baghdady menuliskan dalam kitabnya sebuah hadits yang berbunyi”murji’ah adalah majusinya umat ini(islam),sedangkan hadits ini adalah hadits yang “laa ashla lahu” yang berarti tidak punya sumber alias palsu menurut istilah ulama hadits.

Nikmat sabli Qolun

Semoga bermanfaat,Amiin yaa rabbal aalamiin

Wallahu a'lamu bisshhawab

Daftar Bacaan :

1. Imam Syahrustany. Al-Milal Wa An-Nihal, Maktabah Jazirotul Warad.Cairo.

2. Prof.Dr.Muhammad Robi’ Muhammad Jauhari. Aqiidatuna, tanpa penerbit.

3. Imam Abu Zahro’. Tarikh Al-Madzaahib Al-Islamiyyah, Dar Al- Fikr Al-Aroby.

4. Prof.Dr.Umar bin Abdul Aziz Quraisy. Ushul Firoq Al-Islamiyyah, tanpa penerbit.

5. K.H.M.Basyron Abd Basith, Mutiara Hadits Budi Luhur, Bintang Terang. Surabaya .

6. Imam Akbar Syekhul Azhar Imam Abdul Halim Mahmud, At-Tafkir Al-Falsafy Fi-Al- Islam, Dar Al-Maarif.

7. Imam Abdul Qahir Al-Baghdady, Al-Farqu Baina Al-Firoq.

8. Imam Abu Hasan Bin Ismail Aly Asy-Arie. Maqaalaat Al-Islamiyyin, Tahqiq Helmort Ruters. Jerman.

9. K.H.Sirojuddin Abbas.I’tiqod Ahlussunnah Wal jama’ah, Dalam Bahasa Indonesia. Pustaka Hidayah. Jakarta .

10. Prof.Dr.Mumammad Ahmad Sayyid Al-Musayyar, Muqaddimah fi Diroosah Al-Firoq Al-Islamiyyah, Maktabah Al-Iman. Cairo .

11. Imam Ibnu Hazm Az-Zhohiry. Al-Fashl Fi Al- Milal Wa An-Nihal Wa Al-Ahwa’.


[2] As-Syahrustani, Al-Milal Wa An-Nihal, hal:116, maktabah jazirotul warad.Cairo

[3] Imam Abu Zahro’, Tarikh Al-Madzaahib Al-Islamiyyah, hal:113, Dar Al-Fikr Al-Aroby

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Ibid

[7] Dr.Muhammad Robi’ Muhammad Jauhari, Aqiidatuna ,hal: 23. tanpa penerbit

[8] Ibid

[9] Dr.Muhammad Robi’ Muhammad Jauhari, Aqiidatuna ,hal: 23. tanpa penerbit

[10] Abu Zahro’, tarikh Al-Madzaahib Al-Islamiyyah, hal:114

[11] Imam Abdul Halim Mahmud, at-tafkit al-falsafi fil islam, hal:140, dar al-maarif

[12] Ibid

[14] Abu Zahro’. tarikh al-madzaahib al-islamiyyah

[15] Imam Abdul Halim Mahmud, at-tafkir al-falsafy fil isalm, hal:139, darul maarif

[16] Ibid

[17] Abu Zahro, tarikh al-mazdaahib al-islamiyyah, hal:117

[18] Imam Abdul Qahir Al-Baghdady, al-farqu baina al-firaq, hal:151

[19] Imam Abu Hasan Asy-Arie,maqoolaat al-islamiyyin wa ikhtilaaf al-mushallin, tahqiq Helmort Ruter, hal:132-154

[20] Syahrustani, al-milal wa an-nihal, hal:116

[21] Baca : Ibnu Hazm Ad-dzohiry,al-fashl fi al-milal wa an-nihal wa al-ahwa’, hal:142



[1].baca at-tafkir al-falsafy fil islam,Imamakbar syeikhul islam Abdul halim mahmud.

[2]. As-Syahrustani, Al-Milal Wa An-Nihal, hal:116, maktabah jazirotul warad.Cairo

[3]. Imam Abu Zahro’, Tarikh Al-Madzaahib Al-Islamiyyah, hal:113, Dar Al-Fikr Al-Aroby

[4]. Ibid

[5] .Ibid

[6] .Ibid

[7]. Dr.Muhammad Robi’ Muhammad Jauhari, Aqiidatuna ,hal: 23. tanpa penerbit

[8] .Ibid

[9]. Dr.Muhammad Robi’ Muhammad Jauhari, Aqiidatuna ,hal: 23. tanpa penerbit

[10]. Abu Zahro’, tarikh Al-Madzaahib Al-Islamiyyah, hal:114

[11]. Imam Abdul Halim Mahmud, at-tafkit al-falsafi fil islam, hal:140, dar al-maarif

[12].Ibid

[13]. Abu Zahro’. tarikh al-madzaahib al-islamiyyah

[14]. Imam Abdul Halim Mahmud, at-tafkir al-falsafy fil isalm, hal:139, darul maarif

[15].Ibid

[16]. Abu Zahro, tarikh al-mazdaahib al-islamiyyah, hal:117

[17]. Imam Abdul Qahir Al-Baghdady, al-farqu baina al-firaq, hal:151

[18].Imam Abu Hasan Asy-Arie,maqoolaat al-islamiyyin wa ikhtilaaf al-mushallin, tahqiq Helmort Ruter,jerman hal:132-154

[19]. Syahrustani, al-milal wa an-nihal, hal:116

[20]. Baca : Ibnu Hazm Ad-dzohiry,al-fashl fi al-milal wa an-nihal wa al-ahwa’, hal:142

read more...